Minggu, 13 Januari 2008

NASIONAL : Korban HAM Tak Ingin Maafkan Soeharto

JAKARTA – Sejumlah keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada era kekuasaan Soeharto kemarin (11/1) menyempatkan diri ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Mereka berdoa supaya mantan presiden itu kembali sehat serta meminta agar kesalahannya sebagai pelaku kekerasan HAM tetap diusut. ”Pemerintah dan politisi harus memandang keberadaan kami sebagai korban pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto,” tegas Bejo Untung, salah seorang korban pelanggaran HAM peristiwa 1965, di lobi RSPP kemarin. Bejo bersama sekitar 30 anggota keluarga korban pelanggaran HAM dari peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, penculikan 1997/1998, dan Trisakti 1998. Tampak pula bersama mereka Suciwati, istri aktivis HAM almarhum Munir, dan Koordinator Kontras Usman Hamid.

”Atas nama kemanusiaan, kami ke sini adalah ingin mendoakan Soeharto supaya segera sembuh,” sambung Suciwati yang mengajak anaknya, Alif, ikut serta kemarin. Menurut Suciwati, segala dalih untuk memaafkan Soeharto karena sakit yang dideritanya saat ini bukanlah bentuk kemanusiaan. Jika dihadapkan pada nasib yang diderita para korban Soeharto di masa lalu, upaya tersebut sama saja dengan menghapus segala upaya yang dilakukan anggota keluarga korban pelanggaran HAM. ”Kemanusiaan yang hakiki adalah kebenaran dan keadilan. Karena itu, kebenaran dan keadilanlah yang tetap harus ditegakkan di dunia ini, bukan menutupinya,” tegasnya.

Bejo yang memimpin kunjungan itu menceritakan, dirinya menderita akibat perampasan HAM sejak semasa muda. Saat itu, kata pria yang kini berusia 60 tahun tersebut, tanpa alasan yang jelas, dirinya yang bergabung dalam Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia dijebloskan ke penjara selama sembilan tahun. ”Saya dipenjara selama sembilan tahun tanpa alasan yang jelas dan juga tanpa pengadilan yang memutuskan apa pun,” ungkapnya.

Karena itu, Bejo yang juga menjabat ketua Yayasan Penelusuran Pembunuhan 65 tersebut menilai permintaan maaf yang dialamatkan kepada Soeharto sangat tidak beralasan dibandingkan dengan penderitaan yang dia alami dan ribuan warga lainnya. Kondisi sakit yang dialami penguasa Orde Baru itu tidak boleh menjadi dalih pemerintah untuk menghentikan proses hukum yang belum menemui kejelasan. ”Memaafkan itu urusan nanti, setelah pemerintah melaksanakan proses hukum,” tandasnya.

Di tempat yang sama, Koordinator Kontras Usman Hamid menyatakan, kondisi yang dialami Soeharto seharusnya menjadi penggerak bagi Komnas HAM, DPR, presiden, dan jaksa agung untuk segera melakukan proses hukum atas semua peristiwa pelanggaran HAM di bawah tanggung jawab Soeharto. ”Pemerintah harus menegakkan komitmennya bahwa segala proses hukum harus dilakukan kepada siapa pun dengan tetap memperhatikan asas praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia,” ujar Usman.

Menurut dia, pemerintah harus tetap dalam koridor objektif dalam melanjutkan kasus hukum yang dialamatkan kepada Soeharto. Dalam hal ini, pemerintah tidak boleh menghiraukan pendapat-pendapat sekelompok pihak atau individu yang ingin memaafkan Soeharto karena sakit. ”Harus dilihat apakah pertimbangan jasa yang dilakukan Soeharto sebanding dengan pelanggaran HAM yang dilakukan,” katanya. Usman juga menyebut, jika Soeharto meninggal, proses hukum bisa dilakukan secara in absensia.

Prioritaskan Kasus Soeharto

Kondisi kesehatan mantan Presiden Soeharto yang tidak menentu direspons Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan mantan penguasa orde baru itu diprioritaskan penyelesaiannya Komnas HAM. ”Kasusnya kami prioritaskan. Sejauh ini sudah dilakukan pemantauan dan pendalaman terhadap kasus-kasus yang melibatkan Pak Harto,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh, kemarin (11/1). Dari hasil pendalaman materi, Komnas HAM menemukan adanya pelanggaran HAM. ”Ada dugaan kuat seperti itu,” sambungnya.

Ridha menjelaskan, pihaknya melakukan kajian terhadap empat kasus pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan Soeharto. Di antaranya Petrus (penembak misterius), kasus pelanggaran HAM 65, daerah operasi militer (DOM) Aceh, dan DOM Papua. ’’Dari empat kasus tersebut ada dugaan kuat terjadi pelanggaran ham berat,’’ lanjut Ridha.

Jika ditemukan indikasi pelanggaran HAM berat, Komnas HAM akan melanjutkan pengusutan kasus tersebut, meski Soeharto telah meninggal dunia. Karena kejahatan orde baru diduga tidak bersifat tunggal. ’’Tentu tidak tunggal kalo pelangaran HAM berat, ada peluang membongkar siapa pun yang terlibat,’’ tambahnya. Bahkan saat ini Komnas HAM mengaku telah mengantongi indikasi-indikasi pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan tersebut.

Karena itu proses penumpulan materi kasus pelanggaran HAM orde baru akan segera diselesaikan. ’’Finalisasi keputusan akan dilakukan dalam rapat paripurna Komnas HAM minggu depan,’’ janji Ridha. Di sisi lain kelompok yang mendukung pengampunan terhadap Soeharto terus bertambah. Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali (SDA) meminta semua elemen bangsa arif dalam menyikapi kasus hukum mantan Presiden Soeharto. Menurut dia, memaafkan kesalahan Soeharto lebih banyak manfaatnya dibanding terus mengejar dan mengotak-atiknya. “Sebagai bangsa, kita harus komprehensif menilah Pak Harto. Bagaimanapun juga dia pernah punya jasa bagi bangsa ini. Tidak ada salahnya kita memaafkan kesalahan dia. Itu lebih banyak manfaatnya dibanding terus mengungkit kesalahan Pak Harto," kata SDA.

Terkait dengan sejumlah kasus hukum yang melibatkan mantan Presiden RI ke-2 itu, SDA menyerahkan sepenuhnya pada proses hukum. Semua harus dibuktikan lewat peradilan dan tidak boleh ada penghakiman sendiri.

"Kalau dia dianggap melakukan kesalahan di masa lalu, silakan diperiksa di pengadilan. Cuma masalahnya, dia kan sakit. Untuk diperiksa, dia harus sembuh dulu," tambahnya. Sebagai orang yang sudah cukup usia dan sakit-sakitan, lanjut SDA, mestinya ada sisi kemanusiaan yang dipertimbangkan dalam mengusut kasus hukum Soeharto.
(JAMBI INDEPENDENT)

Tidak ada komentar: